semar
Sejarah Semar
Semar dikisahkan sebagai abdi atau
hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu
saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai
pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika
kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan
sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata
yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama
yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan
wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran
aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya,
derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya
sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan
penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.
Asal-Usul dan Kelahiran
.
Terdapat beberapa versi tentang
kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai
penjelmaan dewa.
Dalam naskah Serat Kanda
dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang
putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal
berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang.
Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara
Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan
Batara Guru, dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga
dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang
Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting
bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud
telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing
diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit
putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang
berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian
bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai
penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus.
Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat
bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan
Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya.
Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi
sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi
ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
Dalam naskah Purwakanda
dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh,
Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar
bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga
kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun
perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk
ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog
sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh
keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan
mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian
bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita
dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang
Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang
Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga
bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing
menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang
berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari
kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih
karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun
mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut
dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan
matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung
tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian
gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan.
Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka
mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum
menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan,
bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing
memakai nama Togog dan Semar.
Silsilah dan Keluarga
Dalam pewayangan dikisahkan, Batara
Ismaya sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan dengan sepupunya yang
bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh orang anak, yaitu:
- Batara Wungkuham
- Batara Surya
- Batara Candra
- Batara Tamburu
- Batara Siwah
- Batara Kuwera
- Batara Yamadipati
- Batara Kamajaya
- Batara Mahyanti
- Batari Darmanastiti
Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi
untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu
hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa
memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari
bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari
tersebut telah terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian
menjadi istri Semar, dan biasa dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara
itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati,
karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras.
Pasangan Panakawan / Punokawan
Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar
selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun
sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang
pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra
seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar
berkat sabda sakti Resi Manumanasa.
Dalam pewayangan Sunda, urutan
anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam
pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama
Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.
Bentuk Fisik
Semar memiliki bentuk fisik yang
sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya
yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk
lainnya.
Semar selalu tersenyum, tapi bermata
sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi
potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan
muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan,
sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat
jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.
Keistimewaan Semar
Keris pengantin dengan pegangan
Semar
Semar merupakan tokoh pewayangan
ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun
keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika
dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya
Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang
satunya adalah Semar.
Semar dalam karya sastra hanya
ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa
yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan
wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan
Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar
selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang
sedang dikisahkan.
Dalam pewayangan, Semar bertindak
sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum
raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh
Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran
perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah
- yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara
rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti
menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar